BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 25 Desember 2008

Teknologi Ethanol, Teknologi Sederhana

Ciu Boled

Aku punya kebiasaan selalu pingin membaca. Aku jarang diam saja tanpa membaca. Apa saja aku baca, kalau tidak ada buku ya… koran bekas, koran bungkus gorengan, majalah lama. Kalau naik bis kadang-kadang aku baca plang-plang, baliho, spanduk, atau reklame di sepanjang jalan. Termasuk ketika aku mampir ke rumahku di Magelang. Aku iseng-iseng membaca koran-koran bekas. Tanpa sengaja aku menemukan sebuah artikel menarik di Harian Suara Merdeka, Kamis 28 Februari 2008 dan Jum’at, 29 Februari 2008. Sudah hampir sebulan yang lalu. Judul artikel tersebut adalah Menyibak Tabir Ciu Boled (1) Satu Grumbul Hasilkan 75 Ribu Liter per Bulan.

Aku sedang asik mempelajari bioethanol jadi artikel ini jadi sangat menarik bagiku. Menurut artikel itu di sebuah kampung, di kecamatan Wangon Banyumas, ada pegranjin ciu sejak jaman belanda dulu. Mereka memproduksi Ciu secara sembunyi-sembunyi, karena Ciu termasuk minuman keras yang dilarang pemerintah. Tapi karena mereka sudah turun temurun membuat ciu, tradisi ini tetap dilakukan hingga saat ini. Bahan baku untuk membuat ciu adalah nira kelapa mudah diperoleh di sekitar desa itu. Kurang lebih ada sekitar 100 orang yang membuat ciu. Kapasitas produksinya pun cukup besar yaitu sekitar 75 ribu liter per bulan. Kadar alkoholnya juga cukup tinggi, yaitu sekitar 40%. Sama dengan kadar alkohon pada Vodca.

Mereka memproduksi ciu dengan perlengkapan sangat sederhana. Teknologinya sederhana. Alat distilasinya terbut dari panci-panci biasa dengan tabung bambu. Mereka menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk distilasi. Tapi hasilnya lumayan juga, karena bisa mencapai 40%. Aku memperkirakan, mungkin kadar ethanol dalam cairan fermentasinya mencapai 10% atau kurang dari itu. Kalau benar mereka mereka mengolah kurang lebih 300 ribu liter nira per bulan. Jadi kalau ada 100 orang berarti rata-rata 1000 liter/orang/ bulan. Menurut artikel itu mereka tidak rutin setiap hari membuat ciu, kadang-kadang saja. Jadi andaikan dalam sebulan mereka bekerja 20 hari, jadi rata-rata mereka mengolah 50 liter nira dalam setiap prosesnya.

Memang membuat ciu bukan teknologi yang baru. Kata orang, Ciu ini sudah masuk ke Indonesia ketika para pedangan cina mampir ke wilayah nusantara. Mungkin ketika jaman majapahit dulu. Ketika itu para pedagang cina mengajarkan cara-cara membuat ciu kepada orang pribumi. Namanya saja ciu yang sudah bisa diduga berasal dari bahasa cina. Waktu aku pergi ke NTT aku lihat banyak juga mereka minum arak putih, kalau tidak salah namanya Saguer. Di daerah sumatra juga ada minuman yang mirip. Waktu itu aku pergi ke wilayah sekitar danau toba: balige, sigorong-gorong, muara, taruntung, dolok sangul, dll. Aku lihat orang batak kalau sore hari minum ciu tradisional di warung-warung.
Membuat Bioethanol dari Ciu

Artikel di Suara Merdeka ini memberi aku inspirasi. Sebenarnya ethanol sama saja, apakah dibuat dari nira, gula, molases, pati, ketela, atau bahan lignoselulosa. Bedanya hanya di kadarnya saja. Ethanol untuk fuel harus bebas air, kadarnya mendekati 100% (99.5%). Jika dihitung-hitung ciu sebanyak 75 ribu liter/bulan (kadar ethanol 40%) bisa menghasilkan ethanol sebanyak 30 ribu liter/bulan. Kalau harga ethanolnya Rp. 5.500, maka nilainya kurang lebih Rp. 165 juta. Jadi rata-rata bia memberikan pendapatan sebesar 1,64 juta per bulan untuk setiap pengrajin ciu. Jumlah yang cukup lumayan.

Seharusnya pemerintah daerah setempat cepat tanggap. Pengrajin ciu ini dikumpulkan dan dibina. Misalnya dengan membuat semacam koperasi. Mereka diberi modal dan diberi pelatihan untuk membuat ethanol. Teknologi untuk membuat ethanol sangat sederhana dan bisa diperoleh dengan mudah. Mereka bisa juga dibantu untuk pemasarannya.

Setelah menjadi ethanol pasarannya sangat luas. Ethanol dengan kadar 70%, biasa dipakai di rumah sakit atau laboratorium sebagai disinfektan. Kadar 99.5% bisa digunakan sebagai bahan campuran bensin. Industri-industri pun banyak yang menggunakan ethanol sebagai pelarut atau salah satu bahan bakunya.

Ada banyak keuntungan yang bisa diperolah di sini. Pertama, meningkatkan pendapat masyarakat pengrajin ciu. Kedua, mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar dari fosil.

Memang untuk mewujudkan cita-cita ini tidak mudah. Diperlukan kemauan yang kuat dari dinas dan instansi terkait. Kesungguhan dari pembina-pembinanya dan tentunya juga dukungan dari masayarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar